Pembunuhan karakter dalam dunia politik itu lumrah. Dalam hal itu, ada metode yang disebut demonisasi alias Pengiblisan. Jangan heran, siapapun orang yang terlibat di dunia politik, apalagi dengan sengaja terjun ke politik praktis, jadi partisan partai ataupun politisi non-partai, siap-siap saja lah! Disamping berpeluang dielu-elukan massa di stadion saat kampanye, siap-siap pula mengalami pengiblisan. Sayangnya, cap iblis ini melekat dari masih hidup, maupun sesudah mati!
Mengada-ada?
Tidak! Tengok saja sang sejarah.
Seperti Soekarno, Soeharto, maupun Winasa (yeah), Aidit juga sebuah nama yang dalam gelombang sejarah sempat terlambung tinggi sebelum terhempas. Setidaknya, itu sampai sejarah mengadilkannya.
* * *
Sajak tak butuh bakat?
Pada masa Orde Baru, setiap bulan September, tepatnya setiap tanggal 30, diputar film Penghianatan G30S/PKI sebagai proyek politik semacam itu. Namun setelah reformasi '98, film ini mendadak hilang, dan informasi baru tentang masa lalu kelam Indonesia itu muncul di mana-mana. Termasuk tentang sosok Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia.
"Ia sangat muda, kala itu..."
Ini cerita dari Amarzan Loebis yang pernah menjadi redaktur Harian Rakjat dan mengenal Aidit. Kata beliau, kesuksesan sebagai Ketua PKI dan menteri sejak umur 30-an, telah membentuk sikap dan kepribadian seorang Aidit.
"Aidit adalah sosok, yang pertama kali melihatnya, kita tidak ingin menjadi dekat," katanya. Tuntutan atas kewibawaan sebagai pemimpin partai komunis yang tergolong besar (bahkan dibandingkan partai komunis lain di dunia), telah membuat Aidit seperti merasa harus menjaga jarak, dengan siapa pun, "Ini tidak terjadi dengan pemimpin PKI lain seperti Nyoto." Dalam pergaulan sehari-hari, Aidit selalu memperlihatkan sikap bahwa dirinya harus didengar, dituruti, dan dipercaya.
Amarzan pertama kali menginjak Jakarta tahun 1936 dari Medan karena memenangkan lomba puisi dalam rangka peringatan Karl Marx, dan diserahi hadiah langsung oleh Aidit. Sejak itu Amarzan menjadi redaktur Harian Rakyat dan mereka saling kenal. Sehingga ia punya cerita tersendiri tentang Aidit.
"Waktu itu saya menjadi redaktur edisi Minggu dari Harian Rakjat, yang mengurusi bagian sastra. Aidit mengirimkan sekitar lima sajak, yang tidak saya muat. Pada Sabtu malam, sebelum naik cetak, Aidit menelepon saya di kantor.
'Sajak-sajak saya saya dimuat 'kan?' Aidit bertanya.
'Sajak-sajak saya saya dimuat 'kan?' Aidit bertanya.
'Tidak, Bung,' jawab saya.
'Kenapa tidak?' Aidit bertanya lagi.
Karena masa itu percakapan telepon belum sejernih sekarang, saya katakan kepadanya, 'Kalau kita bisa bertemu, saya akan jelaskan alasannya.'
Setelah itu telepon dibanting."
Sebenarnya bukan masalah apa-apa, sajak itu tidak dimuat. Amarzan hanya tidak enak kalau sajak itu sampai dibaca publik. Bukan hanya akan merendahkan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), tapi juga akan merendahkan puisi itu sendiri. Namun sejak kisah itu, katanya...
"Aidit kalau melihat saya lantas buang muka."
Semangat kerakyatan dan sepeda
Aidit dan Bung Karno |
Sastra mendapat perhatian dalam sudut pandang ideologi komunis.
Dalam pidatonya, Aidit menekankan betapa sastra harus mengabdi pada kepentingan rakyat, dan bukan masyarakat feodal. Jelas yang diserangnya adalah seni "adiluhung" canggih, yang perlu "kapital budaya" tertentu untuk sekedar menikmatinya. Semacam seni-seni opera untuk kaum-kaum elit itu lah.
Namun, benarkah menulis sajak untuk rakyat, lantas tidak memerlukan bakat?
"Meskipun sajak-sajak Lekra adalah sajak poster (seperti yang ditulis Aidit itu), tetapi penyair seperti Agam Wispi atau Bandaharo berhasil menuliskannya secara lain," kata Amarzan. Agaknya bukan semangat kerakyatan lah masalah Aidit, melainkan bakat, karena dalam hal semangat, Amarzan punya cerita lain.
Ketika Aidit menjadi menteri dan mendapat fasilitas mobil, pengawal, dan lain-lain, datanglah putri pertamanya, Iba, dari Moskow, yang masih belasan tahun. Putri yang lebih banyak tinggal di luar negeri itu ingin jalan-jalan keliling Jakarta menggunakan mobil tersebut. Namun Aidit berkata pada putrinya,
"Kamu mau menggunakan mobil yang dibiayai oleh negara dari uang rakyat ini untuk keliling Jakarta? Kamu boleh keliling Jakarta dan kuberi pengawal pribadi, tapi naik bus."
"Mereka pun naik bus," kenang Amarzan, "Itu saya tahu. Besoknya, ketika Iba ingin pergi ke Gedung Pemuda di Menteng Untuk bertemu teman-temannya, fasilitas yang diberikan ayahnya hanyalah sepeda."
(update bagian II klik di sini)
(update bagian II klik di sini)
* * *
(diketik ulang dengan pengubahan seadanya seperlunya)
Kisah Selanjutnya:
Aidit jg salah satu pemuda yg membawa soekarno hatta ke rengas dengklok
BalasHapusiya.. masuk kelompok sebelas itu...
BalasHapusitu yg mw diangkat di artikel ini, dia mengalami demonisasi, pengiblisan oleh sejarah. jasanya ditutup, keburukannya diangkat
Seharusnya aidit dan para anggota pki yg dbunuh tanpa proses pengadilan dbersihkan namanya, toh sampai skrg blm ada bukti ilmiah keterlibatan aidit d g30s, pemerintah hrs minta maaf, tp itu resiko politik, siapa yg kalah siap2 diibliskan, tp akibat peristiwa itu kt diwariskan pemimpin dgn org2 penuh korup sampai skrg.
BalasHapusiya, gmana kocar kacir keluarga mereka pas orba. Apalagi aidit, oemar dhani saja parah, baru keluar penjara tahun 2002... anaknya di kick andy berkisah: susahnya hidup di cap anak komunis, n diajar untuk membenci dari sekolah dasar...
BalasHapustapi h...epi bagi oemar dhani, pz keluar penjara bilang, "Tuhan itu adil, saya sekarang menghabiskan masa tua dengan keluarga. Sementara si harto kalian tahu sendiri bagaimana hari tua nya"
gusdur yg bebasi tapol2 pki aja dibilang antek yahudi lah, komunis lah, tp ga jaim dy, atas yg dia yakini... tp yang sekarang agaknya jaim untuk brani revisi sejarah..haha main aman saja yang sekarang pemerintah ne
ayo ayo ayo...
BalasHapustulis lagi lanjutannya...
belakangan saya suka sejarah...
btw..sejarah memang milik penguasa sih ya...
ijin nyimak gan infonya
BalasHapusmenarik dan bermnafaat nih
thanks
ARtikelnya bagus gan, ditunggu tulisan selanjutnya
BalasHapus:)
terimakasih informasinya bagus
BalasHapus