Menyusun nama bukan perkara sederhana.
Kata orang "susah-susah-gampang":
susahnya dua, gampangnya satu.
Kadang malah:
susah-susah-susah.
Susahnya tiga!
Apa lagi untuk buah hati yang telah lama dinanti. Sejak pertama embrio
nongol di layar USG, hingga saat tangisnya memecah dunia di ranjang persalinan, pergolakan tentang nama di kepalaku tak pernah berhenti.
Bagaimana tidak?
Nama itu akan putriku sandang sejak lahir hingga akhir hayat. Setiap orang tua
-aku yakin- telah berusaha menyematkan nama terbaik untuk anaknya.
Akhirnya, kuputuskan sebuah nama:
Dewa Ayu Putu Vanesha Vedantari
Dewa Ayu Putu...
... Vanesha Vedantari...
Nah, beberapa bulan terakhir sering kudengar pertanyaan dari bibir
-atau dari kernyit mata- beberapa kawan. Mungkin hatinya bertanya-tanya.
"Wo, kamu kan suka nulis, pasti namanya sastra banget!"
"Ndak isi Soekarnoputri? Lahirnya pas enam Juni, lho!"
"Namamu kan Cakrabuana Aristokra, kirain anakmu bakal Tribuwanatunggadewi Sokrates."
"Pas COVID nih, isiin Karantinawati atau Iluh Corona gitu..."
Untukku pribadi, menggali nama untuk anak layaknya sebuah perjalanan. Tak mudah, panjang, banyak merenungnya. Lihat saja 32 orat-oret yang kubuat di Google Keep, sejak berbulan sebelumnya.
|
...tantangan menggali sebuah nama... |
Ini kisahku, tentang menggali nama putri pertamaku.
Catatan seorang
overthinker
* * *
Nama Erat dengan Era
Layaknya busana dan musik, nama adalah karya seni. Masuknya di ranah selera. Seni menamai anak itu ada trendnya.
Contohnya awal 1900, saat Belanda masih bercokol di Nusantara.
Kala itu, para orang tua memiliki rumus baku. Pokoknya pilih satu kata, lalu beri awalan Su-.
Singkat nan padat!
Bagi penduduk Jawa dan Bali yang gemar nonton wayang, awalan su- berarti "baik". Nama Sukarno berasal dari Karna, kakak dari Panca Pandawa. Ada juga Suharto, Suroso, Sumantri,
you name it!
Lanjut ke era '45!
Di masa ini, api kemerdekaan menjalari dada. Jangankan anak, pejuang muda bahkan mengubah namanya sendiri. Hanafi menjadi A.M. Hanafi: Anak Marhaen Hanafi. Ahmad Aidit menjadi D.N. Aidit alias Dipo Nusantara Aidit. Yang satu digelari Bung Karno dari ajaran Marhaenisme, yang satu terinspirasi Diponegoro dan Nusantara.
Pokoke bernuansa
revolusi!
Lanjut ke perihal nama pasca '65!
Nah, yang ini agak
ndak enak.
Bila Bung Karno memiliki menteri kesayangan bernama Oei Tjoe Tat, Pak Harto justru melarang nama bernuansa Tionghoa. Misal orang yang bernama Tan
dipaksa berubah jadi Gunawan
Tanuwidjaya. Atau
Tanusudibyo. Atau Is
tanto. Pokoknya
ndak boleh berbau Tionghoa.
Tak hanya nama. Perayaan Imlek, ajaran Konghucu, hingga barongsai juga dikekang. Akhirnya, Gus Dur-lah yang membuka belenggu budaya ala Orde Baru.
Oke lanjut.
Tak hanya politik. Ranah sosial juga punya kisah.
Di era 70'an, seorang ibu bernama Ngatiyem melahirkan putra pertama. Diberi nama Agus Cahyadi, biar modern. Saat Agus punya anak di awal 2010, ia menamai anaknya Nur Afifah Zaskia. Alhamdulillah!
Bali juga sama. Di tahun 70'an, I Nengah Semer menamai anaknya I Gede Agus Sudarsana
. Awal 2019 kemarin, Sudarsana punya anak bernama I Gede Narendra Adhirama Bhaskara.
Dalam tiga generasi, Ngatiyem berubah menjadi Nur Afifah Zaskia. I Nengah Semer menjadi Narendra Adhirama Bhaskara. Yang satu islami, yang satu indiani. Memang setelah Orde Baru tumbang, gerakan bernuansa religius puritan makin populer di nusantara.
By the way, punyakah kalian kawan yang namanya Habibie? Di kantorku ada dua. Saat SD dulu juga ada satu. Biasanya "para Habibie" ini lahir tahun 90'an hingga menjelang Orde Baru tumbang. Begini ceritanya.
Bapak Habibie kala itu dikenal sebagai ahli pesawat terbang kelas dunia. Beliau juga Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Habibie digadang-gadang menjadi suksesor politik
daripada Pak Harto. Beliau adalah sosok dengan iptek dan imtaq paripurna!
Karena nama adalah doa dari orang tua, jelas "Habibie" adalah doa idaman kala itu.
Capek obrolin politik?
Yuk beralih ke dunia hiburan. Tersebutlah Aiden, Marlyn Manson-nya punk yang harum di era 2000'an. Aiden adalah salah satu band idolaku sejak masih SMA. Cek lagunya yang berjudul "Die Romantic" dan "The Last Sunrise". Gagah!
Tapi cek lagunya nanti saja. Sekarang tengok komentar netizen di halaman YouTube mereka.
|
...Marilyn Manson-nya punkrock... |
Masih ada lagi. Kali ini dari layar kaca.
Tahu Game of Thrones? Sejak
season pertama, Daenerys Targaryen menjanjikan sosok yang sempurna. Cantik, mistik, berjiwa pemimpin, keibuan, demokratis. Banyak ibu yang menamai anak gadisnya Daenerys atau Khaleesi.
Sayang, di
season terakhir, ratu idaman pemirsa berubah menjadi Hitler versi perempuan! Para Daenerys ini akhirnya mengalami perundungan di sekolahnya.
Kasihan ya. Bila ingin menamai berdasarkan serial televisi, lebih bijak ditunggu sampai tamat dulu. Siapa tahu malah belok jadi antagonis.
Dracarys!
|
... di Amerika Serikat, 4.500 anak bernama dari Game of Thrones... |
Hmm... ternyata menamai bukanlah perkara yang merdeka-merdeka
banget.
Ada banyak unsur yang mendefinisikan
coolness nama di tiap era. Jelas mempengaruhi orang tua saat merumuskan nama anak.
Nah bagaimana dengan anakku?
* * *
More About Her? Us? or Else?
Andai nama anakku isi Aristokra-nya. Misal jadi
Dewa Ayu Putu Vanesha Aristokra. Mungkin saat ia dewasa akan terjadi percakapan begini:
👧: Jadi, nama Vanesha sepanjang itu, Jik ya...
👨: Iya, Nak... lama lho Ajik mikirnya.
👧: Terus, "Dewa Ayu Putu" itu nama keturunan, kan?
👨: Benar. Dewa Ayu dari garis keluarga ayah. Putu artinya anak pertama. Tradisi.
👧: Nama belakang aku kan Aristokra. Jadi dari lima kata, aku cuma kebagian seporsi? Tiga tentang tradisi, dan satunya nama Ajik? Kok sedikit.
👨: Errr... Aji bisa jelaskan...
👧: Coba jelaskan....
👨: Err... Aji tidak bisa jelaskan :(
Dialog khayal macam ini sering menghantui. Apakah ia akan distempeli nama belakangku? Ia akan mudah diidentifikasi sebagai:
"oh pasti anaknya Dewa ya?" oleh kenalan yang bertemu dengannya kelak. Berapa sih, kawanmu yang punya nama belakang Aristokra?
Bukan, memberikan nama belakang keluarga bukan hal buruk. Malah baik. Tanya saja Ibu Mega, Mas Ibas, atau selebgram Enya Blanco dan Tari Mantra.
Ndak usah aja kali ya. Kan, nama depannya juga sudah berunsur dari luar dirinya: keluarga dan tradisi.
Aku kok ingin hidup anakku
more about her, ya? Bukan kisah Aristokra II, atau Purnama Dewi Sequel. Aku percaya,
if you love someone, set them free. Layaknya bernegara, kalau
beneran mencintai rakyat, pasti memberi kebebasan bernama demokrasi.
Sosok yang salah mengartikan ego-obsesi jadi cinta, pasti jadi mengekang sang kekasih. Negara yang tak cinta rakyat, pasti akan bertindak represi. Curiga dan memata-matai. Harusnya cinta menumbuhkan rasa saling percaya, kan?
Jadi jawaban atas pertanyaan, "mengapa nama anakku tak diakhiri dengan nama belakang Aristokra atau Dewi, adalah..."
"... karena aku terlalu cinta anakku. Aku percaya padanya. Kuingin kisahnya more about her --sejak dari nama. Toh, nama depannya sudah ada unsur dari keluarga. Cukup lah. Biar anakku yang berkisah sendiri di tiap lembar hidupnya. Tentu, aku akan selalu ada... Untuk membantu, bukan malah membelenggu."
Bahwa, sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa...
... dan setiap insan!
* * *
Terus, Kenapa Vanesha?
Nah ini ceritanya unik. Aku punya kawan, namanya Adit. Kami kenal sejak masih SMP di Jembrana dulu, hingga kini. Tahun 2008, Adit mengambil kuliah di Australia. Layaknya sobat kecil yang libur tahun ajaran, kami pasti sempatkan waktu untuk kumpul. Ngobrol ngalor-ngidul.
Adit memulai critanya. "Awal-awal sampai di Australia, Wo, ada cerita lucu
nok."
"Heh... gemana itu," tanyaku penasaran.
"Saat perkenalan awal kan aku bilang,
Hello... My name is Adit. Orang-orang di sana malah bingung.
What? Addey?"
"Kacau nih, mereka susah melafalkan. Aku tegasin lagi.
No, my name is ADIT. Alpha Delta India Tango. A-D-I-T!"
"Mereka masih bingung, mungkin karena lidahnya beda.
Oh... so your name is Addy, Eddy... oh hi Eddy."
Adit malah
ngakak. "Ya sudah lah. Karena mereka susah melafalkan, jadi aku dipanggil Eddy selama di Australia!"
Cerita di atas membekas lama di kepalaku. Ternyata, dunia makin
borderless, makin bercampur-baur
. Ayahku merantau sejauh Tabanan menuju Jembrana. Aku sempat hidup di Jakarta, Kupang, dan Flores. Istriku malah sudah ke penjuru Eropa hingga Alaska.
Pantai favorit ayahku adalah Baluk Rening. Aku suka Gili Trawangan. Istriku selalu berkata bahwa Quebec adalah pantai favoritnya.
Itu cerita di generasiku. Bayangkan, hidup macam apa yang akan dilewati oleh anakku dan kawan-kawannya? Ia akan memfavoritkan pantai mana? Dengan siapa ia akan berjumpa? Entahlah.
Karena itulah aku memutuskan nama Vanesha.
Vanesha -dengan suku kata sha- masih senada dengan Gane
sha: dewa perlambang pengetahuan dan kecerdasan yang jadi logo kampus Bung Karno: ITB. Huruf V sering dipakai dalam pelafalan Sansekerta yang diindonesiakan. Shiva jadi Siwa, Div jadi Dewa, Varuna jadi Baruna. Aku merasa ada kesan feminim dalam kata "Vanesha".
Nama Vanesha rasanya mudah diterima siapa pun, dari belahan bumi mana pun. Meski begitu, akar tradisinya masih kuat. Dalam bahasa Sansekerta, Vanesha bermakna murni, bersih, dan
pure.
Menurut bahasa Yunani kuno, Vanesha juga bermakna
butterfly. Makhluk cantik yang bermetamorfosis dari ulat menjadi makhluk bersayap, indah, dan membantu eksistensi alam lewat penyerbukan. Nama bapaknya: Aristokra, juga diambil dari Yunani kuno.
Mirip laah.
Jadi kutetapkan hati, untuk menggunakan nama Vanesha.
Selanjutnya, nama belakangnya apa ya?
* * *
Vedantari dan Harry Potter...
Nama "Dewa Ayu Putu" sangat Bali-ish.
Nama "Vanesha", sangat Barat-ish.
Jadi, kurencanakan nama belakangnya Hindu-ish.
Pikiran
random membawaku teringat pada kisah Harry Potter. Tepatnya tentang empat penyihir terhormat yang mendirikan Hogwarts. Ingat namanya?
- Godric Gryffindor
- Rowena Ravenclaw
- Helga Hufflepuff, dan
- Salazar Slytherin
Pertama kali mendengar nama mereka, aku penasaran. Mengapa huruf awalnya sama semua? Tak mungkin kebetulan. Kukira itu akan punya kisah tersendiri dalam novel, namun ternyata tidak. Jawaban atas misteri penamaan itu malah kutemui saat aku SMA, dari buku Deception Point-nya Dan Brown.
Novel itu mengisahkan seorang senator Amerika yang mengubah nama. Awalnya siapa, ah aku lupa. Menjelang pemilu, tokoh tadi mengubah namanya menjadi Sedgwick Sexton, hanya agar huruf awalnya sama-sama S! Wah!
Novel Deception Point menyinggung alasan sang senator mengubah nama. Ternyata, tradisi itu adalah hal klasik bagi budaya Eropa dan Amerika. Katanya sih, untuk keindahan, terkesan kokoh dan nasib baik.
J.K. Rowling serta Dan Brown punya benang merah. Selain dua-duanya penulis kesukaanku, mereka kini memberi inspirasi yang unik untuk nama putriku.
Nah, kata bernuansa Hindu apa lagi yang lebih pas menemani kata Vanesha, dibanding kitab suci sendiri -Kitab Veda-?
Ya, Kitab Suci umat Hindu adalah Veda. Namun, Vedanta lebih spesifik lagi. Ia berasal dari kata "Veda" dan "Anta" (akhir). Vedanta adalah filsafat penutup dari pustaka suci penganut Hindu. Salah satu aliran pemikiran yang menekankan pada pengetahuan dan keharmonisan. Vedanta sering disebut ajaran universal, relevan untuk semua latar belakang. Tak cuma penganut Hindu.
Novel Lost Symbol-nya Dan Brown sempat menyinggung Upanisad, salah satu kitab kajian ajaran Vedanta.
J. Robert Oppenheimer, seorang ilmuwan yang dijuluki Father of Atomic Bomb-nya Amerika di masa Perang Dunia II juga menyelami Vedanta lewat Kitab Bhagavadgita.
|
...empunya bom atom pemerhati Vedanta... |
Oiya, Upanisad itu kitab Hindu yang menarik. Intinya
sih, tentang konsep ketuhanan Pantheisme. Bukan monotheis, bukan politheis. Tuhan menurut Vedanta bersifat Maha Dzat, berada pada segenap ciptaan-Nya. Jadi, ya jangan menyakiti makhluk lain, karena itu berarti menyakiti Tuhan. Cintailah sesama makhluk, karena itu berarti mencintai Sang Pencipta.
Ya, tat twam asi gitu lah intinya.
Selanjutnya, akhiran -Tari semata adalah penghormatan untuk istriku. Ia adalah penari sejak kecil. Tahun 2006, aku menonton istriku mewakili Kabupaten Jembrana dalam Pesta Kesenian Bali untuk menari. Saat bekerja ke luar negeri, ia juga sempat melakukan pertunjukan tari. Bahkan ia masuk ke SMA favorit di Jembrana berkat jalur prestasi tari.
|
...ibunya seorang penari... |
Sementara aku? Jangan ditanya. Aku adalah siswa yang dihardik guru muatan lokal tari, karena menurut beliau, "Dewa! Kamu seperti robot kekurangan oli.
Ndak lumas!"
Vedanta + Tari, jadilah Vedantari.
Ahh... rasanya sulit memberi nama lain yang lebih nyantol di hatiku.
* * *
Demikianlah petualangan dalam kepalaku hingga akhirnya tercetus nama Dewa Ayu Putu Vanesha Vedantari. Sebenarnya sih masih ada banyak cerita lain, tapi rasanya cukup lah untuk sebuah memoar. Tentu, itu intepretasi pribadiku. Anakku, kalian, pembaca blog ini, temannya kelak, jelas berhak punya intepretasi sendiri.
Yang pasti, Vanesha berhak tahu.
Bahwa nama yang ia sandang adalah doa yang kami titipkan pada semestanya kini dan kelak. Untaian kata yang dipikirkan sepenuh hati. Sampai mumet sendiri. Agar Vanesha tau, ia sepenting itu bagi ayah dan ibunya.
Bila ada yang berpegangan pada semboyan, apalah arti sebuah nama, Anda ya ndak salah juga. Nama hanya bahasa. Dan bahasa cuma untaian kata, yang kadang berserakan.
Untuk itu, sebagai penutup, ijinkan aku mengutip sambil mengubah puisinya Chairil Anwar...
Kami cuma tulang-tulang kata-kata berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang kata-kata itu
Anakku,
Tentukanlah makna dari namamu sendiri, kelak.