Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno juga tak bersahabat.
“Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!” tegas mereka.
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu disana.
“Mana kakak-kakakmu?” tanya Bung Karno. Guruh menoleh ke arah bapaknya lantas berkata, “Mereka pergi ke rumah Ibu”. Rumah ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.
Bung Karno berkata lagi, “Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu. Jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara,” kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana.
Disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan, ia maklum. Ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu.
“Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi. Kalian jangan mengambil apapun. Lukisan-lukisan itu, souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara,” begitu Beliau berpesan. Semua ajudan menangis saat tahu Bung Karno mau pergi. “Kenapa Bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan?” salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.
“Kalian tau apa,” sergah Bung Karno, “kalau saya melawan nanti perang saudara. Perang saudara itu sulit, jikalau perang dengan Belanda jelas: hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu, keluarganya sama dengan keluargamu. Lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara.”
Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. “Pak kami memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya.” Sejak hari-hari sebelumnya, militer memang setengah menyetop pasokan dana ke dapur Istana, tempat Bung Karno dan keluarganya makan.
Ah, sudahlah,” ujar Bung Karno sambil tertawa. “Sayur lodeh basi tiga hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa.”
Di hari kedua, saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya, datang perwira suruhan Orde Baru. “Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini”. Terlihat beberapa tentara sudah memasuki ruang tamu dan menyebar sampai ke ruang makan. Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus.
Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar. Dalam pikirannya, Bung Karno takut bendera pusaka akan diambil oleh tentara. Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas dan ia masukkan ke dalam kaos oblong. Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah ajudannya, Saelan. “Aku pergi dulu,” kata Bung Karno terburu-buru. “Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak?” Saelan separuh berteriak. Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir mengantarkannya ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
* * *
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman. Kadang-kadang ia memegangi dadanya yang sakit. Ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana telah dibuangi.
Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri untuk jalan-jalan. Nitri adalah orang Bali. Saat melihat duku, Bung Karno jadi ingin, tapi dia tidak punya uang. “Aku pengen duku, Tri. Sing ngelah pis, aku tidak punya uang.” Nitri yang sebenarnya hanya memiliki uang pas-pasan juga melihat ke dompetnya. Ia merasa cukuplah untuk membeli duku sekilo.
Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata, “Pak, bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil”. Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. “Mau pilih mana, Pak? Manis-manis, nih.” sahut tukang duku dengan logat betawi kental. Bung Karno dengan tersenyum senang berkata,
“coba kamu cari yang enak.”
Tukang duku itu mengernyitkan dahinya. Ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak,
“Bapak… Bapak…. Bapak… Itu Bapak…BAPAAK!!!”
Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan. ”Ada Pak Karno, Ada Pak Karno….” Mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan aneka buah-buah pada Bung Karno.
Awalnya Bung Karno tertawa senang. Ia terbiasa menikmati kebersamaan dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno: ia takut rakyat yang tidak tahu apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya.
“Tri, berangkat! Cepat!” perintah Bung Karno. Ia melambaikan tangan ke rakyatnya yang terus-menerus memanggil namanya. Bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tahu pemimpinnya dalam keadaan susah. :(
Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk (truk? ya ampun!) ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor.
Di Bogor ia dirawat oleh dokter hewan. Ya, kau tak salah dengar. Proklamator negara kita ini di akhir masanya dirawat oleh dokter hewan.
Dan penderitaan Bapak belum berhenti sampai sana...
(bersambung ke bagian 2)
sumber dari buku autobiografinya bung karno ya wo?
BalasHapuswah, autobiografi bung karno cm cerita sampe tahun 63... G30S pun blum ada disana
Hapusmudah di mengerti info info nya
BalasHapusterimkasih gan
merinding kalo baca atau denger cerita bung karno, apalagi denger pidatonya..
BalasHapus