Jadi...
Tiba-tiba aku memilih buku karya seorang bhiksu di rak Gramedia. Kawan-kawan punkers-ku bisa meloncat dari kursinya bila mendengar Dewa Cakrabuana memilih buku bhiksu, alih-alih buku sejarah G30S atau majalah Rolling Stone.
Oke, lanjut.
Sebuah buku yang ditulis bhiksu...
Apa yang ada di pikiranmu? Ini bakalan dalam, panjang, dan bersayap, mungkin. Kubayangkan isinya akan luhur, berbahasa sastra tinggi. Aku bukanlah penikmat sastra-hero macam Pramoedya, atau Dee yang bahasanya mengawang indah. Hanya pria sejantan Rangga di AADC yang kayak gitu.. Nah aku? Membayangkan pembukaannya saja sudah membuatku mulas. "Pasti dibuka dengan kutipan mutiara Sang Sidharta, Berat!" begitu pikirku.
Kurobek segel plastiknya -ritual menyenangkan tiap beli buku anyar- lantas kubuka halaman awal. Mulai kubaca kalimat pertama sang penulis di bagian Prakata... kata pembuka mutiara macam apa yang ku temukan?
Apa yang ada di pikiranmu? Ini bakalan dalam, panjang, dan bersayap, mungkin. Kubayangkan isinya akan luhur, berbahasa sastra tinggi. Aku bukanlah penikmat sastra-hero macam Pramoedya, atau Dee yang bahasanya mengawang indah. Hanya pria sejantan Rangga di AADC yang kayak gitu.. Nah aku? Membayangkan pembukaannya saja sudah membuatku mulas. "Pasti dibuka dengan kutipan mutiara Sang Sidharta, Berat!" begitu pikirku.
Kurobek segel plastiknya -ritual menyenangkan tiap beli buku anyar- lantas kubuka halaman awal. Mulai kubaca kalimat pertama sang penulis di bagian Prakata... kata pembuka mutiara macam apa yang ku temukan?
"Pisang itu keren banget."
Aku mulai merasa bhiksu penulis buku ini kurang waras. Yasudah, kunikmati saja lembar demi lembar, toh sudah kubeli. Halaman demi halaman berlalu, dan ahh... akhirnya aku tersadar. Bhiksu yang awalnya kukira kurang waras ini ternyata sangat waras. Mungkin orang paling waras yang pernah melintas di kehidupanku.
Namanya Ajahn Brahm. :)
* * *
Judul : Don't Worry Be Hopey
Penulis : Ajahn Brahm
Tebal : 205 halaman
Harga : Lupa! 60ribuan? Yang pasti nilainya jauh diatas harganya.
Terbitan : Pentingkah?
Beberapa kali kudengar nama Ajahn Brahm. Kudengar, ia penulis dengan filosofi Buddhis yang dihormati. Ya sebatas dengar itu saja. Genre motivasi dan pembangunan kepribadian bukanlah genre favoritku. Terlalu satwam seperti air mengalir di telaga, sementara aku merasa lebih klik dengan buku bersifat rajas, semangat seperti api menjilat-jilat.
Ajahn Brahm adalah penulis seri buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Pernah dengar, kan?Awalnya aku berkenalan dengan si cacing sekitar tiga tahun lalu, itu pun sekadar lewat. Mungkin saat itu aku dan si cacing belum berjodoh, tapi entah mengapa ia selalu mendapat tempat istimewa di hati. Saat ulang tahun sahabat kerjaku, Ricky, kuhadiahi dia buku si cacing. Saat menjenguk Pak Winasa di lembaga pemasyarakatan, buku si cacing jua yang kubawa untuk menemani mantan bupati idolaku melewati harinya disana.
See? Selama ini aku melihat si cacing sekadar sebagai "pilihan aman". Sebuah bingkisan yang tepat diberikan kepada manusia dengan selera apa pun.
Jadi, buku Don't Worry Be Hopey ini adalah buku pertama Ajahn Brahm yang kuberi atensi penuh. Atensi itu datang dengan sendirinya, karena buku ini -entah kenapa- memberikan sensasi yang menagihkan. Mengingatkanku saat membaca J.K. Rowling's Harry Potter, dan beberapa buku karya Dahlan Iskan, dimana aku membaca buku-buku itu sampai larut petang sambil bergumam,
"sialan sudah jam setengah duabelas. Oke satu bab lagi dan tidur, besok masuk sekolah...."
... Jrenggg... terjadi khilaf-literasi, dan tiba-tiba jam sudah menunjukkan 03.00 dini hari!
Buku Ajahn Brahm ini juga punya daya magnit seperti itu... sekaligus roller coaster emosi!
Membaca pendahuluannya cukup membuat senyum jahil penasaranku timbul. Ajahn Brahm bisa bertransformasi menjadi sahabat yang jenaka, namun bisa mendadak berubah menjadi ayah yang penuh kasih. Beberapa bab membuatku terpingkal sampai memukul tegel. Namun persis bab selanjutnya bisa membuatku tertegun, meletakkan buku, lantas menelpon ibu yang jauh disana sekadar bertanya, "hai ibu... sehatkah engkau disana?"
Ahh... Ajahn Brahm!
Kita tak saling kenal, tak pernah bersua. Bahkan mungkin seumur hidupku takkan pernah sempat bertatap wajah denganmu. Sekadar melihat potret wajahmu di halaman belakang buku ini, aku teringat Jung Wah, keponakan yang baru lahir. Pure! Wajah tersenyum tenang yang memandang dunia tanpa tendensi, tanpa motif. Tak terpengaruh hiruk-pikuk dunia yang memikat namun mengombang-ambingkan.
Senyummu teduh tulus. Welas. Sungguhpun ku yakin dalam pemahamanmu ada begitu banyak hal-hal sujati tentang dunia, tapi dalam buku ini kau mampu menjabarkannya secara manis nan sederhana. Tapi tetap mengena! Layaknya seorang ayah ilmuwan astro-fisika yang menjelaskan kepada seorang anak kecil bodoh cerewet, mengapa bintang bersinar di langit malam. Bukan dengan menjabarkan reaksi fusi maupun magnitudo semu bintang, melainkan dengan analogi sederhana sampai anak itu tersenyum puas sembari menghargai keindahan bintang dan sang penciptanya.
Anak kecil bodoh itu aku.
Otakku yang cerewet seperti kerbau liar jadi tersenyum puas tepat di kalimat penutup buku mu, Bhante. Mungkin begini perasaan Sang Ekalawya: tak pernah bersua dengan Drona, tapi merasa begitu banyak telah menerima pemahaman baru tentang hidup dari guru itu.
* * *
Jadi, buku ini memang luarbiasa, Kawan!
Came on, bila dalam hidupmu ada selembar daftar bertitel, "Sepuluh Buku yang Wajib Baca Sebelum Kiamat," buku Don't Worry Be Hopey karya Ajahn Brahm ini wajib masuk dalam sana. Nikmati bukunya, nikmati hangat dan semangat sang penulis langsung ke hatimu.
Sedikit saran humble dariku untuk kalian semua, sahabatku,
"Bila engkau jalan-jalan ke toko buku, aku mendoakanmu masih menemukan buku luarbiasa ini di rak-raknya. Semoga pula hatimu tergerak untuk menebusnya di kasir. Semoga kalian, -kau dan buku Don't Worry Be Hopey- berjodoh!"
Read and smile :)